Home > Nasional

Koperasi Merah Putih dan Bayang-Bayang Kegagalan BUMDes

Jangan Ulangi Kesalahan yang Sama
Dok. Sigit Iko Sugondo
Dok. Sigit Iko Sugondo

BISNISTIME.COM, BOGOR -- Presiden terpilih Prabowo Subianto menggulirkan gagasan pembentukan Koperasi Merah Putih (KMP) di setiap desa. Sebuah inisiatif yang tampaknya ingin menjawab kebutuhan penguatan ekonomi kerakyatan dari akar rumput. Namun, pengalaman masa lalu memberi kita pelajaran penting: membangun lembaga ekonomi desa tak cukup dengan semangat politik, anggaran besar, dan instruksi dari atas.

Selama satu dekade terakhir, kita telah memiliki Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), mandat resmi dari Undang-Undang Desa. Sayangnya, mayoritas desa belum berhasil mengelola BUMDes secara optimal. Banyak yang tidak aktif, hanya formalitas administratif, bahkan menjadi alat segelintir elite lokal. Wajar jika publik bertanya: jika BUMDes saja masih terseok, bagaimana nasib koperasi baru yang kini diwacanakan?

Koperasi desa juga tidak akan bergerak di ruang kosong. Ia harus berhadapan dengan struktur ekonomi informal yang telah lama mengakar, seperti tengkulak. Tengkulak bukan sekadar perantara dagang, tetapi juga pemberi pinjaman darurat, penyedia kepercayaan, bahkan bagian dari struktur sosial desa. Koperasi tak bisa begitu saja menggantikan peran ini, apalagi jika hadir dalam wujud program birokratis yang terasa asing.

Tantangan lain adalah pendekatan seragam dan tenggat waktu yang sempit. Ketika koperasi didorong sebagai target kuantitatif, yang lahir bukan pemberdayaan, melainkan angka. Padahal, konteks setiap desa berbeda. Keberhasilan koperasi harus dimulai dari kebutuhan nyata warga, bukan cetak biru dari pusat.

Apalagi jika KMP dibiayai dari pinjaman bank milik negara. Ini berarti koperasi harus langsung berorientasi pada keuntungan dan pengembalian modal. Padahal, banyak pengurus koperasi di desa belum siap secara manajerial dan teknis. Risiko kegagalan, konflik, bahkan penyimpangan akan terbuka lebar jika proses ini terburu-buru.

Dari pengalaman saya mendampingi masyarakat desa, koperasi yang berhasil justru lahir dari kebutuhan yang tumbuh perlahan. Ia hadir bukan karena dikonstruksi dari luar, melainkan karena warga merasa perlu dan merasa memiliki. Ketika pemberdayaan dimulai dari membentuk lembaga keuangan terlebih dahulu, bukan dari penguatan kapasitas dan relasi sosial, maka daya hidup koperasi akan rapuh.

Kita punya pelajaran penting dari koperasi susu dan koperasi peternak sapi perah, yang berhasil karena dibangun dari kebutuhan nyata, dikelola secara profesional, dan terhubung langsung dengan pasar. Kita juga ingat masa ketika Koperasi Unit Desa (KUD) menjadi tulang punggung ekonomi desa, meskipun akhirnya banyak yang mati suri karena intervensi politik yang berlebihan dan lemahnya penguatan SDM.

Namun kita tak perlu pesimistis. Dari pengalaman BUMDes, KUD, dan relasi sosial desa, ada sejumlah pelajaran penting yang bisa dirumuskan sebagai jalan ke depan:

  1. Mulailah dari lokal. Koperasi harus lahir dari kebutuhan, potensi, dan struktur sosial yang telah ada di desa. Libatkan warga sejak awal.
  2. Sinergikan dengan BUMDes. Koperasi sebaiknya menjadi penguat, bukan pesaing. BUMDes bisa menjadi inkubator untuk lahirnya koperasi berbasis pengalaman nyata.
  3. Berikan waktu untuk tumbuh. Koperasi butuh inkubasi, bukan paksaan. Mulailah dari unit kecil yang dikelola dengan baik sebelum berkembang.
  4. Fokus pada SDM. Bangun kapasitas kader koperasi yang memahami manajemen dan dipercaya masyarakat. Jangan rekrut sekadar berdasarkan afiliasi politik.
  5. Tinggalkan pendekatan proyek. Koperasi adalah gerakan sosial ekonomi, bukan agenda satu tahun anggaran.

Jika Koperasi Merah Putih ingin menjadi warisan Prabowo yang nyata dan berjangka panjang, maka ia harus menjadi milik warga desa, bukan sekadar proyek pemerintah. Kita tidak butuh duplikasi kelembagaan, melainkan penguatan dari bawah yang bertahap dan berakar.

Perubahan sejati di desa selalu bermula dari proses yang sabar, kecil, dan membumi. Mari belajar dari pengalaman. Bukan mengulang kesalahan yang sama.

Oleh : Sigit Iko Sugondo (Praktisi Pemberdayaan)

× Image