Home > Lifestyle

Refleksi Malam: Menjaga Anak dari Bahaya Media Sosial di Era Digital

Di tengah derasnya arus digital, kita perlu menemukan jangkar yang menenangkan. Salah satunya adalah dengan menjadikan Al-Quran sebagai sahabat digital. Kitab suci itu bukan sekadar bacaan, tetapi sumber petunjuk yang menuntun langkah, menyejukkan pi
Dok. Mas Imam Nawawi
Dok. Mas Imam Nawawi

BISNISTIME.COM, DEPOK — Sebelum memejamkan mata malam ini, mari sejenak kita merenung. Dunia berubah begitu cepat. Teknologi kini hadir di setiap sisi kehidupan, dan anak-anak tumbuh bersama layar yang menyala hampir tanpa jeda. Sementara orang tua disibukkan oleh rutinitas pekerjaan, banyak anak yang justru tumbuh di tengah ancaman bahaya dunia digital.

Media sosial telah menjadi bagian dari keseharian mereka. Ia membuka ruang belajar, memperluas pertemanan, bahkan menghadirkan peluang masa depan. Namun di balik semua itu, tersimpan pula ancaman yang tak bisa diabaikan. Di balik tampilan menarik dan interaksi yang tampak menyenangkan, ada konten yang bisa mengguncang cara berpikir, membentuk emosi, dan mengubah nilai hidup anak-anak.

Kasus tragis seorang anak di Australia yang mengakhiri hidupnya karena tekanan di media sosial menjadi peringatan keras bagi dunia. Kecanggihan teknologi ternyata tidak selalu sejalan dengan keselamatan dan ketenangan jiwa generasi muda.

Aturan Tegas Demi Menyelamatkan Generasi

Pemerintah Australia mengambil langkah tegas dengan melarang anak di bawah usia 16 tahun menggunakan media sosial. Kebijakan ini diambil setelah berbagai riset membuktikan dampak serius media sosial terhadap kesehatan mental remaja.

Di Indonesia, upaya serupa dilakukan melalui Peraturan Pemerintah tentang Tumbuh Kembang Anak (PP Tunas), yang memperkuat perlindungan terhadap anak di ranah digital. Namun, sekeras apa pun aturan dibuat, pagar hukum hanyalah langkah awal. Pengawasan sejati tetap berada di tangan keluarga.

Orang tua menjadi garda terdepan dalam membentuk karakter digital anak. Kehadiran, perhatian, dan penanaman nilai-nilai moral menjadi kunci utama. Teknologi hanyalah alat — manusia yang menentukan arah penggunaannya. Untuk itu, dibutuhkan kekuatan ruhani yang kokoh agar tidak mudah terombang-ambing oleh derasnya arus digital.

Bangkitkan Kekuatan Ruhani

Kekuatan ruhani adalah benteng yang menjaga ketenangan di tengah gelombang informasi. Ia menjadi penuntun agar seseorang tidak mudah tergoda oleh hal yang semu.

Jika dahulu dunia takut pada bom nuklir yang menghancurkan fisik, kini ancaman itu berubah wujud menjadi “gelombang konten” yang menghancurkan dari dalam — mengikis nilai, menumpulkan nalar, dan merusak kepekaan (fenomena yang dikenal sebagai brain rot).

Di tengah derasnya arus digital, kita perlu menemukan jangkar yang menenangkan. Salah satunya adalah dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai sahabat digital. Kitab suci itu bukan sekadar bacaan, tetapi sumber petunjuk yang menuntun langkah, menyejukkan pikiran, dan menguatkan hati.

Ketika media sosial mengajak untuk terus menggulir layar tanpa henti, Al-Qur’an justru mengajak untuk berhenti sejenak, merenung, dan mengingat makna hidup. Setiap ayatnya membawa cahaya bagi mereka yang mau mendalami makna.

Menyiapkan Generasi yang Cerdas dan Tangguh

Membesarkan anak di era digital memang tidak mudah. Namun tantangan ini sekaligus membuka peluang untuk menanamkan nilai baru — nilai kesadaran, kasih sayang, dan spiritualitas.

Dengan pendampingan yang penuh cinta dan penguatan ruhani, anak-anak dapat tumbuh menjadi generasi yang bukan hanya cerdas teknologi, tetapi juga tangguh secara mental dan kuat secara karakter.

Sebab, masa depan tidak diukur dari seberapa cepat mereka menguasai teknologi, melainkan seberapa dalam mereka mengenal diri, Tuhan, dan kehidupan.

Hanya dengan itu, manusia-manusia tercerahkan — seperti Bilal bin Rabah dalam sejarah — bisa “hadir kembali” di zaman modern ini.

Mas Imam Nawawi

× Image