Jalan Menuju Pertumbuhan Ekonomi

BISNISTIME.COM, BOGOR -- Menkeu Purbaya menyampaikan strategi pembangunan ekonomi Indonesia yang akan mengombinasikan pola era SBY, yang ditopang sektor privat, dengan pola era JKW, yang mengandalkan belanja pemerintah, khususnya infrastruktur. Narasi ini terdengar sederhana dan menjanjikan, seakan cukup dengan menyeimbangkan pedal gas fiskal dan moneter, ekonomi bisa tumbuh 7 persen. Namun, kenyataan di lapangan bisa jauh lebih rumit.
Era SBY (2004–2014) tidak bisa dilepaskan dari commodity boom. Harga batu bara, nikel, dan CPO melonjak tajam, terutama pada periode 2006–2011, didorong tingginya permintaan dari China dan India. Lonjakan harga ini menjadi “windfall” bagi APBN, memperkuat neraca perdagangan, dan mendorong sektor privat tumbuh agresif. Itulah sebabnya pertumbuhan ekonomi relatif stabil di kisaran 6 persen, dengan defisit transaksi berjalan masih terkendali.
Sebaliknya, era JKW (2014–2024) menghadapi tren sebaliknya. Harga batu bara sempat jatuh pada 2015–2016, harga CPO juga tertekan akibat kebijakan Uni Eropa, sementara nikel dan tembaga justru memasuki fase transisi menuju era hilirisasi. Tekanan pandemi COVID-19 dan ketidakpastian geopolitik membuat strategi yang bergantung pada swasta sulit dijalankan.
Karena itu, JKW memilih mengandalkan belanja pemerintah dan BUMN untuk menjaga mesin ekonomi tetap menyala. Dana pemerintah yang “parkir” di BI bukan kelemahan, melainkan langkah prudential untuk menjaga cadangan devisa serta stabilitas rupiah di tengah tekanan global.
Ke depan, potensi besar justru ada pada energi transisi dan hilirisasi minerba. Kebutuhan nikel, kobalt, dan tembaga sebagai bahan baku baterai listrik dan energi hijau akan terus meningkat. Indonesia sebenarnya memiliki posisi strategis sebagai pemasok global. Namun, tanpa ekosistem investasi yang sehat, kepastian hukum, serta keberpihakan pada pelaku usaha rakyat, potensi ini bisa kembali dikuasai oleh segelintir oligopoli tanpa memberikan dampak luas ke ekonomi rakyat.
Di sisi lain, problem mikro rakyat tetap menumpuk. Petani, nelayan, UMKM, dan buruh menghadapi harga yang tidak stabil, akses pasar yang sempit, dan beban biaya transaksi tinggi akibat pungli maupun monopoli pasar. Kebijakan makro yang berniat baik tidak otomatis menjawab problem sehari-hari mereka. Inilah gap besar antara narasi makro yang menenangkan dan realitas mikro yang memprihatinkan.
Solusi mendasar bukan sekadar supply push fiskal atau moneter. Wacana menarik dana besar dari BI untuk ditempatkan di bank umum bisa kontraproduktif. Dana hanya akan mengendap karena iklim investasi tidak kondusif, bahkan berisiko membuka ruang fraud.
Lending Ratio tak bisa dipaksa hanya dengan menambah likuiditas. Bank umum selama ini bukan kekurangan dana (DPK relatif tinggi, LDR rata-rata nasional justru cenderung moderat), melainkan kekurangan permintaan kredit yang feasible.
Kalau demand side (iklim investasi) tidak kondusif, maka tambahan likuiditas itu hanya akan jadi dana mengendap. Artinya, bank lebih memilih menempatkan kembali ke instrumen aman (SBN, BI, atau bahkan menahan di giro), bukan menyalurkan ke dunia usaha.
Indonesia memerlukan ekonomi berdikari partisipatif, yakni membangun iklim usaha yang sehat dari bawah, mengurangi biaya transaksi, memperkuat koperasi, UMKM, serta komunitas lokal, dan menempatkan rakyat sebagai subjek utama pembangunan. Dengan fondasi partisipatif ini, potensi hilirisasi minerba maupun energi transisi bisa benar-benar menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi rakyat, bukan sekadar angka di atas kertas.
Salam pemberdayaan
Sigit Iko