Pertumbuhan Ekonomi, Kesenjangan, dan Jalan Berkeadilan

BISNISTIME.COM, BOGOR — Pergantian Menteri Keuangan di Indonesia kerap menghadirkan harapan baru terkait arah kebijakan ekonomi nasional. Purbaya Yudhi Sadewa, yang kini dipercaya menggantikan Sri Mulyani, mengawali tugasnya dengan optimisme: membawa pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 6–7 persen.
Namun, mewujudkan target tersebut bukanlah perkara mudah. Tantangan global seperti perlambatan ekonomi, perang tarif, hingga melemahnya permintaan pasar luar negeri dapat menekan kinerja ekspor Indonesia. Sementara di dalam negeri, hambatan investasi swasta masih terasa, mulai dari kepastian hukum yang belum kokoh, perizinan dan birokrasi yang berbelit, pungutan liar, hingga ketergantungan fiskal daerah pada transfer pusat yang membebani APBN.
Persoalan bertambah dengan tingkat pengangguran yang masih tinggi, daya beli yang melemah, serta pola konsumsi masyarakat yang cenderung konsumtif. Kompleksitas inilah yang menjadi tantangan besar bagi perbaikan struktur ekonomi nasional.
Di sinilah letak persoalan mendasar pembangunan Indonesia: mengejar pertumbuhan tinggi sering kali melupakan pemerataan. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) memang penting, tetapi tanpa penurunan gini rasio, angka tersebut hanya memperlebar jurang kesenjangan sosial.
Pertumbuhan 6–7 persen tidak akan berarti bila hanya dinikmati kelompok atas, sementara masyarakat lapisan bawah tetap tertinggal. Sebaliknya, pertumbuhan 5 persen yang disertai penurunan gini rasio jauh lebih bernilai, karena dirasakan secara luas dan menyentuh sendi kehidupan masyarakat bawah.
Dalam kerangka pembangunan berkeadilan, arah kebijakan perlu dipetakan lebih konkret. Desa tak boleh lagi hanya dipandang sebagai pusat produksi primer dengan kontribusi fiskal rendah. Desa harus tumbuh menjadi pusat ekonomi baru melalui industrialisasi pedesaan, efisiensi rantai pasok, dan penguatan sinergi desa–kota. Sumber pertumbuhan tak boleh hanya lahir dari kota dan konglomerasi besar, tetapi juga dari basis ekonomi rakyat: pertanian, UMKM, dan ekonomi lokal.
Kebijakan fiskal dan moneter pun harus menempatkan gini rasio sebagai target utama di samping pertumbuhan PDB. Di titik inilah peran zakat, infaq, sedekah, dan wakaf (ZISWAF) menjadi sangat strategis sebagai instrumen distribusi kekayaan, melengkapi kebijakan fiskal negara yang kerap terbatas. Bila kebijakan fiskal fokus mengakselerasi pertumbuhan, maka ZISWAF dapat diarahkan untuk mempersempit kesenjangan dan memperkuat daya tahan ekonomi masyarakat bawah.
Tantangan pembangunan Indonesia ke depan bukan sekadar mengejar angka pertumbuhan, melainkan memastikan pertumbuhan itu inklusif, berkeadilan, dan efektif menurunkan kesenjangan sosial. Jika hal ini tercapai, ekonomi Indonesia tidak sekadar tumbuh — tetapi tumbuh bersama.
Salam pemberdayaan,
Sigit Iko
