BISNISTIME.COM, Baku – PT Pertamina (Persero) terus menunjukkan komitmennya dalam transisi energi dengan mengembangkan Sustainable Aviation Fuel (SAF) berbasis bahan baku ramah lingkungan. Kini, SAF tidak hanya berfokus pada pengurangan emisi karbon di sektor penerbangan, tetapi juga mengatasi persoalan limbah rumah tangga dan industri, seperti minyak jelantah.
Senior Vice President Research & Technology Innovation Pertamina, Oki Muraza, menjelaskan bahwa perusahaan telah mengembangkan teknologi yang memanfaatkan used cooking oil (UCO) atau minyak jelantah sebagai bahan baku SAF. Sebelumnya, pengembangan SAF menggunakan minyak kelapa sawit seperti crude palm oil (CPO) dan refined bleached deodorized palm kernel oil (RBDPKO).
Proses konversi minyak jelantah menjadi SAF dilakukan melalui teknologi Hydroprocessed Esters and Fatty Acids (HEFA). Teknologi ini menghasilkan bahan bakar ramah lingkungan yang kompatibel dengan infrastruktur penerbangan modern.
“Pada tahun depan, kami menargetkan SAF dari minyak jelantah bisa digunakan secara komersial. Uji coba joy-flight dengan Pelita Air akan dilakukan pada kuartal pertama 2025,” ujar Oki.
Indonesia memiliki potensi pengumpulan minyak jelantah hingga 1,24 juta kiloliter per tahun. Namun, tantangan utama adalah kurangnya kesadaran masyarakat dalam pengumpulan minyak jelantah dan lokasi sumber yang tersebar luas. Untuk mengatasi ini, Pertamina telah memulai program pra-pemasaran di Bali, dengan memasok SAF kepada maskapai penerbangan yang beroperasi di wilayah tersebut.
“Pada Bali Air Show, kami berhasil membantu maskapai mengurangi emisi hingga 84% dengan SAF,” ungkap CEO PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan.
Riva juga menegaskan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta untuk memperluas kapasitas pengumpulan dan produksi SAF. Target jangka panjang adalah meningkatkan pengumpulan UCO dari 0,3 juta ton pada 2023 menjadi 1,5 juta ton pada 2030.
Direktur Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan Bappenas, Nizhar Marizi, mengungkapkan bahwa pemerintah sedang menyusun regulasi untuk mendukung pengembangan SAF. Regulasi ini mencakup pengaturan kuota dan tarif ekspor UCO serta pengelolaan manajemen pengumpulan untuk memastikan kualitas bahan baku.
Emma Fenton, Senior Director Climate Diplomacy dari Opportunity Green United Kingdom, menyebut langkah Pertamina sebagai penerapan nyata ekonomi sirkular. “Pendekatan holistik ini memanfaatkan jaringan masyarakat dan mitra internasional, menjadikan Indonesia sebagai pemimpin potensial dalam produksi SAF,” ujarnya.
Emma juga menyoroti pentingnya kolaborasi publik-swasta untuk mendorong dampak positif. “Inisiatif ini tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga langkah nyata menuju net-zero emissions di sektor penerbangan pada 2050,” tambahnya.
Sebagai pemimpin dalam transisi energi, Pertamina terus memperkuat program yang mendukung Sustainable Development Goals (SDGs) dan target Net Zero Emission 2060. Semua upaya ini selaras dengan penerapan prinsip Environmental, Social & Governance (ESG) di seluruh lini bisnis.
Dengan SAF, Pertamina tidak hanya menawarkan solusi hijau, tetapi juga membuka jalan bagi masyarakat untuk berkontribusi aktif dalam menciptakan masa depan yang lebih bersih dan berkelanjutan.