BISNISTIME.COM, Transisi energi menjadi fase penting dalam pergeseran dari penggunaan sumber energi fosil menuju Energi Baru Terbarukan (EBT) yang lebih bersih. Pemerintah telah memulai implementasi kebijakan untuk mengelola energi bersih demi keberlanjutan lingkungan. Meskipun begitu, sektor minyak dan gas bumi (migas) masih memegang peran penting dalam konteks ini.
Dalam era transisi energi, pengembangan sektor energi tidak hanya tentang peralihan dari energi fosil ke EBT, tetapi juga harus menghasilkan dampak yang signifikan dan berkelanjutan bagi masyarakat. Enhanced National Determined Contributions (ENDCs) dan peta jalan Net Zero Emission (NZE) diperkenalkan untuk mendorong transisi energi bersih dan mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca.
Pada sebuah webinar berjudul “Tantangan dan Peluang Industri Minyak dan Gas Bumi di Tengah Transisi Energi”, Anggota Komite BPH Migas, Saleh Abdurrahman, menegaskan pentingnya melihat pergantian sebagai langkah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan nilai tambah. Sektor migas tetap dianggap penting karena masih banyaknya kegunaannya, terutama dalam transportasi dan industri.
Tren penggunaan minyak dan gas bumi diproyeksikan tetap tinggi, sehingga sektor migas perlu terus dikembangkan. Pengembangan pemanfaatan migas dalam transisi energi termasuk penerapan bahan bakar minyak biodiesel 35% dan bioetanol dalam produk Pertamax Green 95 yang telah mulai dipasarkan.
Didik Sasono Setyadi, Ketua Asosiasi Praktisi Hukum Migas dan Energi Terbarukan (APHMET), menekankan bahwa peran migas hingga tahun 2050 masih sangat penting. Vice President Corporate Communications PT. Pertamina (Persero), Fadjar Djoko Santoso, juga menyoroti pentingnya pengelolaan energi melalui Trilemma Energy, yaitu Ketahanan Energi, Keadilan Energi, dan Energi Keberlanjutan.
Pakar Ekonomi Indonesia, Faisal Basri, menyarankan agar semua pemangku kebijakan dapat mengkaji lebih dalam mengenai kebijakan migas ke depan.