BISNISTIME.COM, Performa industri tekstil dan pakaian jadi (TPT) Indonesia saat ini menunjukkan pertumbuhan positif dengan ekspansi yang kuat, didukung oleh permintaan baik dari dalam maupun luar negeri. Namun, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat kekhawatiran di kalangan pelaku industri terkait relaksasi aturan pelarangan dan/atau pembatasan (lartas) terhadap barang-barang impor serupa dengan produk dalam negeri.
“Sebagai pembina industri, Kemenperin menampung masukan dari para pelaku industri tekstil terkait kendala dalam meningkatkan produktivitas dan daya saing. Kekhawatiran muncul karena tidak adanya lartas terhadap barang impor yang serupa dengan produk mereka,” kata Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki, Adie Rochmanto Pandiangan di Jakarta, Minggu (26/5).
Adie menjelaskan, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan subsektor industri tekstil dan pakaian jadi tumbuh sebesar 2,64% (yoy) pada triwulan I 2024. Permintaan luar negeri untuk produk tekstil dan pakaian jadi juga meningkat, masing-masing sebesar 7,34% (yoy) dan 3,08% (yoy).
Selain ekspor, konsumsi rumah tangga domestik yang stabil turut mendorong pertumbuhan industri TPT, terutama di masa Pemilu 2024, hari libur nasional, cuti bersama, dan Lebaran.
Kemenperin optimistis pertumbuhan industri TPT dapat lebih optimal dengan peningkatan pengawasan terhadap impor dan pencegahan konsumsi pakaian bekas atau thrifting. Namun, pelaku industri TPT tetap khawatir akan lonjakan produk impor. Sebelumnya, industri kecil dan menengah (IKM) garmen dan sepatu mengalami kenaikan permintaan 30-50% berkat aturan teknis (pertek) impor sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023.
Ketua Ikatan Pengusaha Konfeksi Bandung (IPKB) Nandi Herdiaman dan Endang dari IKM Alas Kaki Bandung menyampaikan kekhawatiran bahwa pasar akan kembali dibanjiri impor pakaian jadi dan sepatu, yang bisa melemahkan IKM dan menyebabkan penutupan produksi. Mereka berharap pemerintah kembali melindungi pasar dari gempuran impor melalui pertek atau aturan lainnya.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menilai pengendalian impor tidak efektif akibat relaksasi yang diberlakukan. Ia menyambut baik langkah Kementerian Perdagangan melalui Permendag No. 36/2023, namun menilai penumpukan kontainer yang terjadi adalah ulah importir nakal yang tidak mengurus izin Persetujuan Impor. Dari 26.000 kontainer yang tertahan, 85% di antaranya adalah barang jadi milik importir pedagang.
Redma menekankan pentingnya visi integrasi industri, termasuk hilirisasi dan penguatan hulu, namun merasa visi ini kurang didukung oleh kementerian lain, yang berisiko menyebabkan deindustrialisasi. Ia menilai ketiadaan aturan pengendalian impor dapat berdampak negatif pada iklim investasi dan perkembangan industri tekstil dalam negeri, serta tingkat penyerapan tenaga kerja.